12
K&D Learns Storytelling (3)
Mari kita buka cerita kali ini dengan mencoba berfikir dari sudut pandang yang berbeda. Selama ini kita memahami bahwa Malin Kundang (sebuah legenda terkenal dari kota Padang) adalah contoh yang selalu terangkat untuk menerangkan akibat yang dialami oleh anak durhaka. Malin kundang dikutuk oleh ibunya menjadi batu karena kedurhakaannya.
Bahwasannya Malin Kundang merupakan anak durhaka, bisa jadi benar adanya. Tapi, apakah kita pernah berfikir bahwa Malin Kundang-pun sebenarnya adalah korban: korban dari ibunya yang temperamental (thanks to The Panas Dalam: Malin Kundang in Memoriam). Apalagi Malin Kundang adalah seorang lelaki. Secara tidak langsung legenda ini men-diskredit-kan kaum lelaki dan meninggikan moral wanita. Ada apa dengan kesetaraan gender? Ada yang bisa kasih tahu saya legenda yang menceritakan seorang anak perempuan yang dikutuk karena durhaka kepada bapaknya? Ada apa dengan ‘kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi, tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia?’. Jadi, faktanya: kami, para lelaki, adalah KAUM YANG TIDAK SUKA MENGUTUK.
Perempuan berlaku kejam kadangkala hanya sebagai pelampiasan gejolak emosionalnya pada TANGGAL-TANGGAL tertentu, dan ini wajar. Untuk kondisi ini, para pria sebaiknya mengerti. Namun, terkadang perempuan juga berlaku kejam justru untuk menutupi kesalahan atau penyelewengan yang dilakukannya. Yang ini jelas menyakitkan dan tidak bisa ditolerir. Sudah marah-marah, selingkuh lagi. Perihal ini saya jadi teringat cerita dosen saya di sela-sela perkuliahan di Jurusan Arsitektur. Melalui cerita ini, beliau menjelaskan mengapa jendela-jendela dan balkon-balkon di rumah susun perlu diberi teralis. Tujuan utamanya ternyata bukan demi menjaga keselamatan si buah hati, tapi justru demi keselamatan rumah tangga penghuni unit-unit rumah susun tersebut.
Ceritanya, ada sebuah keluarga baru. Mereka mendiami sebuah unit rumah susun di pinggiran Kota Jakarta. Sang suami, yang berprofesi sebagai sekuriti di sebuah pusat perbelanjaan, adalah orang yang sangat ramah dan sangat rajin bekerja. Tiap hari ia berangkat jam empat subuh dan baru pulang sekitar jam sembilan malam. Ia adalah seorang sekuriti profesional, sehingga selama bertugas tak sekalipun ia tidur atau duduk-duduk merokok, apalagi pacaran/selingkuh. Tiap jam keliling. Tiap menit patroli. Karena menurutnya, menyia-nyiakan waktu selama jam kerja adalah sebuah tindakan yang bisa disamakan dengan KORUPSI. Mulia… sungguh mulia. Negara kita butuh pribadi-pribadi seperti sang sekuriti ini.
Pada suatu hari yang panas dan berdebu, gempa besar melanda Kota Jakarta. Rumah susun kediaman pasangan baru tersebut tidak dapat bertahan dan runtuh, rata dengan tanah. Musibah itu menewaskan seluruh penghuni rumah susun tersebut, termasuk sang sekuriti dan istrinya. Singkat cerita, sampailah semua penghuni rumah susun di akhirat. Dikarenakan ini adalah musibah, Tuhan berkenan untuk memberi hadiah kepada seluruh penghuni rumah susun tersebut. Hadiahnya berupa sebuah kendaraan, yang jenis dan harganya disesuaikan dengan indikator yang (ternyata) cukup aneh: kecenderungan berselingkuh. Malaikat memanggil nama mereka satu-persatu dan sampailah pada giliran sang sekuriti. Ternyata sang sekuriti mendapat hadiah mobil Ferrari dengan model terbaru. Saking barunya, belum sempat di produksi di dunia. Cuma di akhirat. Bukannya merasa senang, sang sekuriti justru sedih. Heran, malaikat pun bertanya kepadanya
Malaikat : kenapa kau bersedih, wahai manusia setia. Kau mendapatkan hadiah terbaik dari Tuhan
Sekuriti : iya, saya sedih sekali malaikat. Saya prihatin…
Malaikat : prihatin kenapa?
Sekuriti : istriku
Malaikat : kenapa istri kau? (ternyata malaikatnya asli Batak)
Sekuriti : aku lihat dia mengendarai SEPEDA. Jelek lagi sepedanya…
Untuk segala sesuatu yang tidak baik, tetap masih ada sesuatu yang baik di atasnya. Masih ada perempuan-perempuan baik (ya… meskipun tidak banyak sih) yang bisa kita temui di rumah-rumah ibadah manapun, buat agama apapun. The right woman for the right men, betul? Ini saya ceritakan contoh yang baiknya, tentang ibu yang penuh kasih sayang kepada anaknya.
Waktu masih kecil, kira-kira sekolah dasar kelas dua, saya pernah ditanyai oleh ibu saya seperti ini:
Ibu : nak, kenapa nilai matematikamu jelek? Tidak sebagus nilainya Budi?
Saya : si Budi kan pintar, Bu
Ibu : pintar kenapa? Memang apa bedanya kamu sama Budi? Sama-sama makan nasi kan?
Saya : ya beda lah Bu, si Budi makan nasi pakai ayam. Aku? Tahu… tempe…
Keesokan harinya ibu memasakkan ayam balado untuk saya, dan ternyata nilai matematika saya masih jelek. Ibu bertanya kembali
Ibu : nah, kamu kan sudah makan ayam. Sama seperti si Budi. Kok nilainya masih jelek?
Saya : kemarin aku lihat si Budi makan pakai rendang, Bu. Mungkin karena itu nilainya jadi bagus
Kejadian ini berlanjut terus hingga seluruh masakan yang ada di rumah makan Padang pernah dibuatkan ibu untuk saya. Namun, tetap saja nilai saya jelek.
Ibu : bagaimana ini? Ibu sudah masakkan semua yang kamu mau. Seperti Budi. Tapi nilaimu tak naik-naik?
Saya : (dengan santainya menjawab) oh, itu kan karena si Budi MAKANNYA SAMBIL BELAJAR bu…
Ibu kesal, diambilnya piring yang ada dihadapan saya lengkap dengan nasi dan lauk-pauknya, lalu di kasih ke Si Belang, kucing peliharaan kami. Saya jadi naik pitam. Sambil berdiri di atas kursi (waktu itu saya masih di rumah, di Padang. Kalau saja Malin Kundang mengikuti apa yang saya lakukan: tidak menginjak tanah, mungkin ia tidak akan terkena kutukan ibunya), saya berkata dengan geram
Saya : ibu, walaupun Si Belang dikasih makan pakai rendang sekalipun, dia tak akan dapat 10 (dengan muka merah dan nafas tersengal-sengal mirip adegan sinetron)
Ibu : oh ya? Memang kenapa?
Saya : ibu, dia tidak sekolah (menunjuk kesal ke arah Belang, Belang nyengir kuda)
Ibu : biarlah dia tidak sekolah. Kamu sudah sekolah, sudah makan, nilainya tetap jelek
Saya : baiklah Ibu, aku punya pengakuan…
Ibu : pengakuan apa?
Saya : selama ini (berhenti sejenak, sambil mempertahankan dramatisasi, lalu menatap ke udara)
Ibu : selama ini apa?
Saya : selama ini….
Ibu : apa?
Saya : selama ini, Si Belang yang membuatkan PR ku
Sebahaya-bahayanya perempuan, lebih berbahaya lagi perempuan jadi-jadian, meskipun mereka tidak memiliki siklus menstruasi yang jelas. Bences, sekong, KW (meminjam istilah Mongol). Spesies ini ibarat dua sisi mata uang. Ia memiliki kecantikan (yang hanya bisa dilihat oleh orang-orang yang kurang beriman) sekaligus kekuatan (bawaan lelaki). Ia bisa menjadi sangat lembut, lebih lembut dari perempuan tulen, dan disaat yang sama bisa menjadi sangat ganas seperti harimau dipaksa puasa Romadhon. Lembut ketika ‘memulai’, ganas jika bayaran tidak sesuai. Dan saya masih tidak mengerti dengan tagline: kena gigi uang kembali.
Data statistik menunjukkan bahwa jumlah bences di perkotaan jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan di pedesaan. Tingkat perkembangan suatu kota, ternyata berbanding lurus dengan peningkatan jumlah bences di kota tersebut. Fenomena yang harus di cermati secara serius, terutama bagi para stakeholder yang bergerak di bidang transportasi massa. Pernah suatu kali saya harus berlelah-lelah berdiri sepanjang perjalanan Pleburan-Tembalang, demi menghindari duduk berdua dengan bences (takut diperawani saya). Jika ada gerbong khusus wanita di KRL, saya pikir sudah waktunya ada gerbong khusus sekong. Bayangkan jika anda harus berdesak-desakkan di dalam kereta dengan para sekong. Dipastikan sangat mengganggu produktivitas dan jam kerja anda. Sesampainya di kantor dipastikan anda akan menghabiskan waktu beberapa lama di kamar mandi. Ada dua kemungkinan. Kalau anda laki-laki tulen, anda akan menghabiskan banyak waktu untuk muntah-muntah atau BAB dengan intensitas lebih dari biasanya. Nah, kalau anda ternyata sekong juga, anda pasti akan menghabiskan banyak waktu di kamar mandi dengan tissue dan make up.
Perempuan jadi-jadian atau KW ternyata terbagi ke dalam beberapa tingkatan. Ada tujuh tingkatan setidaknya, mulai dari KW 7 sampai KW 1. Mulai dari yang amit-amit sampai imut-imut. Biasanya yang menempati posisi KW 7 sampai 3,5 (kita sebut sebagai bences menengah ke bawah) sering ditemui di jalan-jalan atau tempat-tempat ramai. Biasanya mereka berprofesi sebagai penyanyi jalanan dengan properti berupa kecrek dari tutup botol minuman dan bas betot yang senarnya dari ban dalam. Jadi para basis, sebenarnya anda perlu dicurigai kelaki-lakiannya. Dan sepanjang yang saya amati, mereka selalu menyanyikan lagu yang sama. Entah kenapa, lagunya seringkali seperti ini (dinyanyikan dengan suara sengau khas sekong):
Aaaku tak maauuu jikalau aaaku di maduuu
Puulangkan saajaaa ke rumah oorang tuaakuu… (yuk cyin ditarik)
Fenomena bences kelas bawah, pada dasarnya, lebih disebabkan karena tuntutan ekonomi. Kalau ingin menilai kinerja pemerintah dalam menciptakan lapangan pekerjaan, juga dapat dilihat dari data jumlah bences di jalanan. Semakin banyak jumlahnya, semakin gagal pemerintah. Ada yang awalnya laki-laki biasa, sekarang jadi bences karena terpaksa. Ada yang dulunya kuli bangunan, sekarang jadi sekong karena butuh makan (kelihatan cyin dari ototnya: kekar). Ada yang dulunya mahasiswa Fakultas Teknik, sekarang jadi KW karena lama menganggur (ya Tuhan, lindungilah hamba-Mu ini). Sejalan dengan teori psikologi behaviorisme, mereka jatuh semakin dalam hari demi hari dan sulit untuk keluar. Sudah terlanjur enak menjadi bences. Atau, menurut teori para motivator, mereka sudah berada pada comfort zone. Saya jadi gerah dengan omongan para motivator ini. Mereka selalu seakan memerintah kita untuk keluar dari comfort zone, padahal mereka sendiri berada pada comfort zone. Mereka terlalu nyaman menasehati orang lain, dibayar pula. Kalau mau, ayo gantian. Saya yang jadi motivator, anda yang jadi bences (lho? Jadi sebelumnya…).
Suatu kali ada seorang bences ngamen ke kos-kosan saya di Tirtasari 1B, dan ternyata sang bences tidak datang pada waktu yang tepat: akhir bulan. Mulaiklah sang bences menyanyi: aku tak mau jikalau aku dimadu, dari awal sampai akhir full track tanpa dipotong (mungkin karena tidak ada yang ke luar, makanya bences nyanyi terus). Suasana kos siang itu lagi sepi, hanya ada saya sendiri. Ada dua penyebab saya tidak keluar menemui sang bences. Pertama, saya takut sama bences (ingat peristiwa di bus pleburan-tembalang). Kedua, saya memang tidak punya uang (akhir bulan sob, makan tinggal Senin-Kamis). Penyebab bonus: eike juga pernah boo… jadi bences. Supaya aman, saya pura-pura tidur. Setelah beberapa saat, mulai hening. Akhirnya menyerah juga dia. Saya bernafas lega. Saya bermaksud untuk keluar sebentar memastikan keadaan. Baru melangkah sampai pintu kamar, tiba-tiba: GROMBYAANNNGGG…. ALAMAKJANG, NYO BAE PAGA TU! (di hajar nya itu pagar). Keluar tenaga laki-lakinya. Pagar teralis jadi hancur berkeping-keping (hah?). Aktor laga Indosiar-kah dia?
Beda dengan bences golongan KW 3,5 sampai 1. Berbeda dengan bences golongan menengah ke bawah yang berdandan ala perempuan dengan cara pas-pasan, demi Tuhan, mereka anggun, cantik, seksi, dan ramah. Bahkan lebih anggun, cantik, seksi, dan ramah dari perempuan sekalipun. Fenomena sekong golongan ini justru bukan disebabkan oleh himpitan ekonomi, melainkan panggilan jiwa. Jiwanya dipanggil oleh setan-setan yang terkutuk. Bences-bences golongan ini jarang terlihat di jalan-jalan; seringnya di restoran, hotel, pantai, bar dan tempat-tempat wisata lainnya. Saya tidak tahu persis pekerjaan apa yang mereka lakukan, tapi sepertinya mereka selalu saja tidak pernah kekurangan, bahkan senantiasa bergelimang harta. Kalau ada kaum sosialita, mungkin mereka bisa disebut kaum SOSIALINCES (sosialita bences). Pattaya beach di Thailand adalah tempat yang cukup terkenal, tempat kaum sosialinces berkumpul. Bahkan ada jargon: mampirlah dulu ke Pattaya, sebelum anda ke Mecca. Baru hidup anda akan sempurna. Betul?
Soal KW golongan atas ini saya punya cerita. Waktu itu malam hari di Stasiun Bandung, masih ada beberapa jam untuk keberangkatan kereta selanjutnya. Kalau musim liburan, saya memang biasa main ke Bandung buat sekedar eye laundry. Masih terngiang-ngiang lirik ‘bidadari kami mahasisiwi kedokteran Unpad’ di telinga, karena memang baru siangnya saya ke sana: habis ngambil cucian. Sedang asyiknya mengoleksi memori, tiba-tiba saya dihampiri oleh seorang ibu-ibu dengan dandanan menor.
Ibu-ibu : mas, mau kemana mas?
Saya : pulang buk
Ibu-ibu : nginap dulu aja mas
Saya : hah? (saya belum mengerti arah pembicaraannya)
Ibu-ibu : murah mas, setengah harga aja. Ayo mas (eh buset… ini ibu-ibu mengajak saya berzina)
Saya : oh, nggak buk. Makasih (saya sudah mengerti sepenuhnya maksud pembicaraan ini. Kenapa saya mengucapkan terima kasih?)
Ampun deh, pikir saya dalam hati. Ini ibu-ibu bodi udah kaya sapi limosin masih aja dagang. Mana lengannya gede banget kaya daging glonggongan. Rambut keriting, dandanan acak adut. Dikasih gratis juga ogah. Sewaktu pikiran saya terfokus dengan hujatan-hujatan ke ibu-ibu tersebut, sekelebat pandangan saya teralih ke seorang cewek yang berdiri agak jauh, sekitar 20 meter. Cewek seksi dengan rok mini, high heels, dan baju tanpa lengan. Mulus banget. Tuh cewek pasti rajin perawatan. Lumayan, farewell vision dari Kota Kembang. Beberapa menit kemudian sang cewek didatangi oleh teman ceweknya yang juga seksi. Awesome, double farewell vision. Lalu kemudian terjadilah peristiwa BESAR yang membuat saya tercekat, terdiam, dan hampir menunjukkan tanda-tanda epilepsi
Cewek 1: hey cyin… dapet berapa dari si Oom?
Cewek2 : dua jetong…
Cewek 1: iiiihhh… peres deh. Yuk capcus
Cewek 2: hyuuukk…
Ya Tuhan, tolong jangan golongkan saya ke dalam kaum Sodom dan Gomorra. Saya khilaf.
***
Sebentar lagi imlek, dan saya ingin mengucapkan selamat merayakan imlek buat semua etnis Tionghoa di Indonesia. Gong Xi Fat Choi. Buat teman-teman yang terobsesi dengan film Cin(t)a, saya ingin menyampaikan sesuatu yang semoga mampu memberikan sedikit pencerahan: GOD ISN’T AN ARCHITECT, GOD ISN’T A DIRECTOR, GOD IS GOD.
Saya K&D, signing off…
:: Berapa bintang yang kau beri? ::.
Bahwasannya Malin Kundang merupakan anak durhaka, bisa jadi benar adanya. Tapi, apakah kita pernah berfikir bahwa Malin Kundang-pun sebenarnya adalah korban: korban dari ibunya yang temperamental (thanks to The Panas Dalam: Malin Kundang in Memoriam). Apalagi Malin Kundang adalah seorang lelaki. Secara tidak langsung legenda ini men-diskredit-kan kaum lelaki dan meninggikan moral wanita. Ada apa dengan kesetaraan gender? Ada yang bisa kasih tahu saya legenda yang menceritakan seorang anak perempuan yang dikutuk karena durhaka kepada bapaknya? Ada apa dengan ‘kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi, tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia?’. Jadi, faktanya: kami, para lelaki, adalah KAUM YANG TIDAK SUKA MENGUTUK.
Perempuan berlaku kejam kadangkala hanya sebagai pelampiasan gejolak emosionalnya pada TANGGAL-TANGGAL tertentu, dan ini wajar. Untuk kondisi ini, para pria sebaiknya mengerti. Namun, terkadang perempuan juga berlaku kejam justru untuk menutupi kesalahan atau penyelewengan yang dilakukannya. Yang ini jelas menyakitkan dan tidak bisa ditolerir. Sudah marah-marah, selingkuh lagi. Perihal ini saya jadi teringat cerita dosen saya di sela-sela perkuliahan di Jurusan Arsitektur. Melalui cerita ini, beliau menjelaskan mengapa jendela-jendela dan balkon-balkon di rumah susun perlu diberi teralis. Tujuan utamanya ternyata bukan demi menjaga keselamatan si buah hati, tapi justru demi keselamatan rumah tangga penghuni unit-unit rumah susun tersebut.
Ceritanya, ada sebuah keluarga baru. Mereka mendiami sebuah unit rumah susun di pinggiran Kota Jakarta. Sang suami, yang berprofesi sebagai sekuriti di sebuah pusat perbelanjaan, adalah orang yang sangat ramah dan sangat rajin bekerja. Tiap hari ia berangkat jam empat subuh dan baru pulang sekitar jam sembilan malam. Ia adalah seorang sekuriti profesional, sehingga selama bertugas tak sekalipun ia tidur atau duduk-duduk merokok, apalagi pacaran/selingkuh. Tiap jam keliling. Tiap menit patroli. Karena menurutnya, menyia-nyiakan waktu selama jam kerja adalah sebuah tindakan yang bisa disamakan dengan KORUPSI. Mulia… sungguh mulia. Negara kita butuh pribadi-pribadi seperti sang sekuriti ini.
Pada suatu hari yang panas dan berdebu, gempa besar melanda Kota Jakarta. Rumah susun kediaman pasangan baru tersebut tidak dapat bertahan dan runtuh, rata dengan tanah. Musibah itu menewaskan seluruh penghuni rumah susun tersebut, termasuk sang sekuriti dan istrinya. Singkat cerita, sampailah semua penghuni rumah susun di akhirat. Dikarenakan ini adalah musibah, Tuhan berkenan untuk memberi hadiah kepada seluruh penghuni rumah susun tersebut. Hadiahnya berupa sebuah kendaraan, yang jenis dan harganya disesuaikan dengan indikator yang (ternyata) cukup aneh: kecenderungan berselingkuh. Malaikat memanggil nama mereka satu-persatu dan sampailah pada giliran sang sekuriti. Ternyata sang sekuriti mendapat hadiah mobil Ferrari dengan model terbaru. Saking barunya, belum sempat di produksi di dunia. Cuma di akhirat. Bukannya merasa senang, sang sekuriti justru sedih. Heran, malaikat pun bertanya kepadanya
Malaikat : kenapa kau bersedih, wahai manusia setia. Kau mendapatkan hadiah terbaik dari Tuhan
Sekuriti : iya, saya sedih sekali malaikat. Saya prihatin…
Malaikat : prihatin kenapa?
Sekuriti : istriku
Malaikat : kenapa istri kau? (ternyata malaikatnya asli Batak)
Sekuriti : aku lihat dia mengendarai SEPEDA. Jelek lagi sepedanya…
Untuk segala sesuatu yang tidak baik, tetap masih ada sesuatu yang baik di atasnya. Masih ada perempuan-perempuan baik (ya… meskipun tidak banyak sih) yang bisa kita temui di rumah-rumah ibadah manapun, buat agama apapun. The right woman for the right men, betul? Ini saya ceritakan contoh yang baiknya, tentang ibu yang penuh kasih sayang kepada anaknya.
Waktu masih kecil, kira-kira sekolah dasar kelas dua, saya pernah ditanyai oleh ibu saya seperti ini:
Ibu : nak, kenapa nilai matematikamu jelek? Tidak sebagus nilainya Budi?
Saya : si Budi kan pintar, Bu
Ibu : pintar kenapa? Memang apa bedanya kamu sama Budi? Sama-sama makan nasi kan?
Saya : ya beda lah Bu, si Budi makan nasi pakai ayam. Aku? Tahu… tempe…
Keesokan harinya ibu memasakkan ayam balado untuk saya, dan ternyata nilai matematika saya masih jelek. Ibu bertanya kembali
Ibu : nah, kamu kan sudah makan ayam. Sama seperti si Budi. Kok nilainya masih jelek?
Saya : kemarin aku lihat si Budi makan pakai rendang, Bu. Mungkin karena itu nilainya jadi bagus
Kejadian ini berlanjut terus hingga seluruh masakan yang ada di rumah makan Padang pernah dibuatkan ibu untuk saya. Namun, tetap saja nilai saya jelek.
Ibu : bagaimana ini? Ibu sudah masakkan semua yang kamu mau. Seperti Budi. Tapi nilaimu tak naik-naik?
Saya : (dengan santainya menjawab) oh, itu kan karena si Budi MAKANNYA SAMBIL BELAJAR bu…
Ibu kesal, diambilnya piring yang ada dihadapan saya lengkap dengan nasi dan lauk-pauknya, lalu di kasih ke Si Belang, kucing peliharaan kami. Saya jadi naik pitam. Sambil berdiri di atas kursi (waktu itu saya masih di rumah, di Padang. Kalau saja Malin Kundang mengikuti apa yang saya lakukan: tidak menginjak tanah, mungkin ia tidak akan terkena kutukan ibunya), saya berkata dengan geram
Saya : ibu, walaupun Si Belang dikasih makan pakai rendang sekalipun, dia tak akan dapat 10 (dengan muka merah dan nafas tersengal-sengal mirip adegan sinetron)
Ibu : oh ya? Memang kenapa?
Saya : ibu, dia tidak sekolah (menunjuk kesal ke arah Belang, Belang nyengir kuda)
Ibu : biarlah dia tidak sekolah. Kamu sudah sekolah, sudah makan, nilainya tetap jelek
Saya : baiklah Ibu, aku punya pengakuan…
Ibu : pengakuan apa?
Saya : selama ini (berhenti sejenak, sambil mempertahankan dramatisasi, lalu menatap ke udara)
Ibu : selama ini apa?
Saya : selama ini….
Ibu : apa?
Saya : selama ini, Si Belang yang membuatkan PR ku
Sebahaya-bahayanya perempuan, lebih berbahaya lagi perempuan jadi-jadian, meskipun mereka tidak memiliki siklus menstruasi yang jelas. Bences, sekong, KW (meminjam istilah Mongol). Spesies ini ibarat dua sisi mata uang. Ia memiliki kecantikan (yang hanya bisa dilihat oleh orang-orang yang kurang beriman) sekaligus kekuatan (bawaan lelaki). Ia bisa menjadi sangat lembut, lebih lembut dari perempuan tulen, dan disaat yang sama bisa menjadi sangat ganas seperti harimau dipaksa puasa Romadhon. Lembut ketika ‘memulai’, ganas jika bayaran tidak sesuai. Dan saya masih tidak mengerti dengan tagline: kena gigi uang kembali.
Data statistik menunjukkan bahwa jumlah bences di perkotaan jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan di pedesaan. Tingkat perkembangan suatu kota, ternyata berbanding lurus dengan peningkatan jumlah bences di kota tersebut. Fenomena yang harus di cermati secara serius, terutama bagi para stakeholder yang bergerak di bidang transportasi massa. Pernah suatu kali saya harus berlelah-lelah berdiri sepanjang perjalanan Pleburan-Tembalang, demi menghindari duduk berdua dengan bences (takut diperawani saya). Jika ada gerbong khusus wanita di KRL, saya pikir sudah waktunya ada gerbong khusus sekong. Bayangkan jika anda harus berdesak-desakkan di dalam kereta dengan para sekong. Dipastikan sangat mengganggu produktivitas dan jam kerja anda. Sesampainya di kantor dipastikan anda akan menghabiskan waktu beberapa lama di kamar mandi. Ada dua kemungkinan. Kalau anda laki-laki tulen, anda akan menghabiskan banyak waktu untuk muntah-muntah atau BAB dengan intensitas lebih dari biasanya. Nah, kalau anda ternyata sekong juga, anda pasti akan menghabiskan banyak waktu di kamar mandi dengan tissue dan make up.
Perempuan jadi-jadian atau KW ternyata terbagi ke dalam beberapa tingkatan. Ada tujuh tingkatan setidaknya, mulai dari KW 7 sampai KW 1. Mulai dari yang amit-amit sampai imut-imut. Biasanya yang menempati posisi KW 7 sampai 3,5 (kita sebut sebagai bences menengah ke bawah) sering ditemui di jalan-jalan atau tempat-tempat ramai. Biasanya mereka berprofesi sebagai penyanyi jalanan dengan properti berupa kecrek dari tutup botol minuman dan bas betot yang senarnya dari ban dalam. Jadi para basis, sebenarnya anda perlu dicurigai kelaki-lakiannya. Dan sepanjang yang saya amati, mereka selalu menyanyikan lagu yang sama. Entah kenapa, lagunya seringkali seperti ini (dinyanyikan dengan suara sengau khas sekong):
Aaaku tak maauuu jikalau aaaku di maduuu
Puulangkan saajaaa ke rumah oorang tuaakuu… (yuk cyin ditarik)
Fenomena bences kelas bawah, pada dasarnya, lebih disebabkan karena tuntutan ekonomi. Kalau ingin menilai kinerja pemerintah dalam menciptakan lapangan pekerjaan, juga dapat dilihat dari data jumlah bences di jalanan. Semakin banyak jumlahnya, semakin gagal pemerintah. Ada yang awalnya laki-laki biasa, sekarang jadi bences karena terpaksa. Ada yang dulunya kuli bangunan, sekarang jadi sekong karena butuh makan (kelihatan cyin dari ototnya: kekar). Ada yang dulunya mahasiswa Fakultas Teknik, sekarang jadi KW karena lama menganggur (ya Tuhan, lindungilah hamba-Mu ini). Sejalan dengan teori psikologi behaviorisme, mereka jatuh semakin dalam hari demi hari dan sulit untuk keluar. Sudah terlanjur enak menjadi bences. Atau, menurut teori para motivator, mereka sudah berada pada comfort zone. Saya jadi gerah dengan omongan para motivator ini. Mereka selalu seakan memerintah kita untuk keluar dari comfort zone, padahal mereka sendiri berada pada comfort zone. Mereka terlalu nyaman menasehati orang lain, dibayar pula. Kalau mau, ayo gantian. Saya yang jadi motivator, anda yang jadi bences (lho? Jadi sebelumnya…).
Suatu kali ada seorang bences ngamen ke kos-kosan saya di Tirtasari 1B, dan ternyata sang bences tidak datang pada waktu yang tepat: akhir bulan. Mulaiklah sang bences menyanyi: aku tak mau jikalau aku dimadu, dari awal sampai akhir full track tanpa dipotong (mungkin karena tidak ada yang ke luar, makanya bences nyanyi terus). Suasana kos siang itu lagi sepi, hanya ada saya sendiri. Ada dua penyebab saya tidak keluar menemui sang bences. Pertama, saya takut sama bences (ingat peristiwa di bus pleburan-tembalang). Kedua, saya memang tidak punya uang (akhir bulan sob, makan tinggal Senin-Kamis). Penyebab bonus: eike juga pernah boo… jadi bences. Supaya aman, saya pura-pura tidur. Setelah beberapa saat, mulai hening. Akhirnya menyerah juga dia. Saya bernafas lega. Saya bermaksud untuk keluar sebentar memastikan keadaan. Baru melangkah sampai pintu kamar, tiba-tiba: GROMBYAANNNGGG…. ALAMAKJANG, NYO BAE PAGA TU! (di hajar nya itu pagar). Keluar tenaga laki-lakinya. Pagar teralis jadi hancur berkeping-keping (hah?). Aktor laga Indosiar-kah dia?
Beda dengan bences golongan KW 3,5 sampai 1. Berbeda dengan bences golongan menengah ke bawah yang berdandan ala perempuan dengan cara pas-pasan, demi Tuhan, mereka anggun, cantik, seksi, dan ramah. Bahkan lebih anggun, cantik, seksi, dan ramah dari perempuan sekalipun. Fenomena sekong golongan ini justru bukan disebabkan oleh himpitan ekonomi, melainkan panggilan jiwa. Jiwanya dipanggil oleh setan-setan yang terkutuk. Bences-bences golongan ini jarang terlihat di jalan-jalan; seringnya di restoran, hotel, pantai, bar dan tempat-tempat wisata lainnya. Saya tidak tahu persis pekerjaan apa yang mereka lakukan, tapi sepertinya mereka selalu saja tidak pernah kekurangan, bahkan senantiasa bergelimang harta. Kalau ada kaum sosialita, mungkin mereka bisa disebut kaum SOSIALINCES (sosialita bences). Pattaya beach di Thailand adalah tempat yang cukup terkenal, tempat kaum sosialinces berkumpul. Bahkan ada jargon: mampirlah dulu ke Pattaya, sebelum anda ke Mecca. Baru hidup anda akan sempurna. Betul?
Soal KW golongan atas ini saya punya cerita. Waktu itu malam hari di Stasiun Bandung, masih ada beberapa jam untuk keberangkatan kereta selanjutnya. Kalau musim liburan, saya memang biasa main ke Bandung buat sekedar eye laundry. Masih terngiang-ngiang lirik ‘bidadari kami mahasisiwi kedokteran Unpad’ di telinga, karena memang baru siangnya saya ke sana: habis ngambil cucian. Sedang asyiknya mengoleksi memori, tiba-tiba saya dihampiri oleh seorang ibu-ibu dengan dandanan menor.
Ibu-ibu : mas, mau kemana mas?
Saya : pulang buk
Ibu-ibu : nginap dulu aja mas
Saya : hah? (saya belum mengerti arah pembicaraannya)
Ibu-ibu : murah mas, setengah harga aja. Ayo mas (eh buset… ini ibu-ibu mengajak saya berzina)
Saya : oh, nggak buk. Makasih (saya sudah mengerti sepenuhnya maksud pembicaraan ini. Kenapa saya mengucapkan terima kasih?)
Ampun deh, pikir saya dalam hati. Ini ibu-ibu bodi udah kaya sapi limosin masih aja dagang. Mana lengannya gede banget kaya daging glonggongan. Rambut keriting, dandanan acak adut. Dikasih gratis juga ogah. Sewaktu pikiran saya terfokus dengan hujatan-hujatan ke ibu-ibu tersebut, sekelebat pandangan saya teralih ke seorang cewek yang berdiri agak jauh, sekitar 20 meter. Cewek seksi dengan rok mini, high heels, dan baju tanpa lengan. Mulus banget. Tuh cewek pasti rajin perawatan. Lumayan, farewell vision dari Kota Kembang. Beberapa menit kemudian sang cewek didatangi oleh teman ceweknya yang juga seksi. Awesome, double farewell vision. Lalu kemudian terjadilah peristiwa BESAR yang membuat saya tercekat, terdiam, dan hampir menunjukkan tanda-tanda epilepsi
Cewek 1: hey cyin… dapet berapa dari si Oom?
Cewek2 : dua jetong…
Cewek 1: iiiihhh… peres deh. Yuk capcus
Cewek 2: hyuuukk…
Ya Tuhan, tolong jangan golongkan saya ke dalam kaum Sodom dan Gomorra. Saya khilaf.
***
Sebentar lagi imlek, dan saya ingin mengucapkan selamat merayakan imlek buat semua etnis Tionghoa di Indonesia. Gong Xi Fat Choi. Buat teman-teman yang terobsesi dengan film Cin(t)a, saya ingin menyampaikan sesuatu yang semoga mampu memberikan sedikit pencerahan: GOD ISN’T AN ARCHITECT, GOD ISN’T A DIRECTOR, GOD IS GOD.
Saya K&D, signing off…
:: Berapa bintang yang kau beri? ::.
12 percakapan:
Hahaha....
BalasHapusLucu ken..,
Ayuuuk cinnnn....
Haduh,kog ketularan virusnya Kendi sih,cyin?
HapusRempong deh ah..
kata aziz doaibu: virus yang lebih bahaya dari H5N1 adalah H1C1N Hi Cin!
BalasHapusKW berapa,cyin?
HapusAkika KW super nih..
*habis ini nelen mouse & keyboard*
awas... hati-hati kutukan bences,, lebih berbahaya dari kutukan wanita asli. jadi pada intinya:kami, para lelaki, adalah KAUM YANG TIDAK SUKA MENGUTUK.
HapusWalopun setting nya lompat-lompat, aku cukup menikmati seri ke 3 ini.
BalasHapusWakssss.. kenapa tujuh??? Tujuh itu angka bagusss, terlalu bagus untuk ukuran kawe seorang bences. Hahahaha
tujuh angka misteri,, misterius apakah dia laki-laki atau laki-laki jadi-jadian,,
HapusKalo ente laki2 tulen atau yang bisa berubah kalo matahari tenggelam??
HapusWhakakakakak...
BalasHapusPulang kuliah mangkal di mandose cyint...? Hahahahaha...
Lucu ceritanya. Fasih banget bahasa Indonesia KW-nya? kursus di mandose?
di mandose ya? hmmm.. kepo banget sih,cyint. pake tanya ke mandose.. mau ikut?
BalasHapusHayuk,jalinan kasih ke mandose aja..
(habis ini mutah belerang)
Whakakakak.....
BalasHapusWaduh...gue angkat tangan aja deh, gue nggak gaul, gak ngerti "kepo" tuh apa artinya.
Maaf guru saya masih level dasar. Hehehehe...
guru kita kan sama: si mbah Google yang tau segalanya termasuk bahasa para bences...
Hapus