4
Sudut Kontras Ibukota
Posted by Black Sakura
in
kisah
Sungguh pagi yang sibuk di ibukota. Semua orang berlomba dengan waktu untuk memulai kehidupan. Motor, mobil dan angkot padat merayap di jalan raya. Aku berada di tengah-tengah antrian panjang di lampu merah.70 detik tak cukup untuk mencapai lampu hijau setelahnya. Aku berhenti di tengah bisingnya ibukota, memperhatikan lalu lalang berbagai macam kendaraan dengan berbagai macam keperluan.
Di trotoar pambatas jalan, kulihat seorang anak lelaki kecil sedang mengambil tumpukan koran yang ia letakkan di beton pembatas jalan, yang ia tindih dengan batu supaya tidak terbang tertiup angin, lalu menjajakannya kepada mobil-mobil yang berhenti di lampu merah. Kupikir umurnya masih 7 atau 8 tahun. Tubuhnya kurus dan basah terkena embun lembap bulan November yang basah. Mungkin ia telah disana sejak beberapa jam yang lalu. Bajunya lusuh tertutup cipratan lumpur dan debu yang pekat melekat.
Oh Tuhan, hatiku mencelos...
Tidakkah seharusnya dia sedang bersiap-siap berangkat ke sekolah? Tidakkah seharusnya dia sudah mandi, bersih, berseragam, menyandang tas dan memakai sepatu lalu dengan senyum dan semangat pagi dia berangkat untuk menuntut ilmu demi masa depannya, masa depan bangsa ini... Sedangkan aku sedang berangkat menuju tempat itu. Tempat anak-anak manis penuh semangat menungguku untuk mendapatkan pelajaran.
Mobil-mobil mengkilat berlalu-lalang di perempatan ini juga. Salah satunya berhenti, mambuka kaca depannya, mengacungkan uang 2000 rupiah kepada anak kecil itu. Segera lampu hijau menyala. Anak itu tergesa berlari menghampiri lambaian tangan dari sudut jendela mobil mewah yang mulai melaju, lalu memberikan korannya sembari masih setengah berlari. Licinnya aspal bulan November mengganggu lajunya, lalu ia pun terjatuh. Tuhan... mengapa ibukota seolah tak acuh. Seolah biasa saja, seolah tak terjadi apa pun. Tetap sibuk... Dia pun terbangun seolah tanpa rasa sakit, lalu berdiri di trotoar pembatas jalan, tersenyum, menunnggu lampu merah datang lagi. Aku terpesona...
Mobil di belakangku membunyikan klaksonnya. Aku sudah tertinggal beberapa meter dari kendaraan di depanku. Aku melaju lagi...
Aku berhenti di gerbang sebuah sekolah di ujung perempatan, tempat murid-muridku menuntut ilmu. Disana berhenti mobil mewah tadi. Lalu turun seorang anak kecil. Berseragam lengkap, bersepatu mahal. Tak heran, sekolah ini sekolah elit, yang perbulannya bisa menghabiskan jutaan rupiah, yang anak-anaknya dimanjakan dengan harta, yang tangan dan kakinya digantikan oleh pembantu, yang bahkan masih gigi susu saja dipasang kawat gigi, yang bekal setiap harinya makanan mahal, yang tas dan sepatunya bermerek. Bahkan mungkin dia tak pernah mambayangkan 'uang datang dari mana'.
Setiap hari kulihat senyum mereka, lalu aku ingin menangis melihat senyum anak penjual koran tadi pagi. Murid-muridku tersenyum untuk dunianya yang serba ada, tapi anak itu tersenyum untuk 2000 rupiah dari ayah-ayah dari anak-anak yang serba ada....
Pagi ini
November 22nd, 2011
:: Berapa bintang yang kau beri? ::.
Di trotoar pambatas jalan, kulihat seorang anak lelaki kecil sedang mengambil tumpukan koran yang ia letakkan di beton pembatas jalan, yang ia tindih dengan batu supaya tidak terbang tertiup angin, lalu menjajakannya kepada mobil-mobil yang berhenti di lampu merah. Kupikir umurnya masih 7 atau 8 tahun. Tubuhnya kurus dan basah terkena embun lembap bulan November yang basah. Mungkin ia telah disana sejak beberapa jam yang lalu. Bajunya lusuh tertutup cipratan lumpur dan debu yang pekat melekat.
Oh Tuhan, hatiku mencelos...
Tidakkah seharusnya dia sedang bersiap-siap berangkat ke sekolah? Tidakkah seharusnya dia sudah mandi, bersih, berseragam, menyandang tas dan memakai sepatu lalu dengan senyum dan semangat pagi dia berangkat untuk menuntut ilmu demi masa depannya, masa depan bangsa ini... Sedangkan aku sedang berangkat menuju tempat itu. Tempat anak-anak manis penuh semangat menungguku untuk mendapatkan pelajaran.
Mobil-mobil mengkilat berlalu-lalang di perempatan ini juga. Salah satunya berhenti, mambuka kaca depannya, mengacungkan uang 2000 rupiah kepada anak kecil itu. Segera lampu hijau menyala. Anak itu tergesa berlari menghampiri lambaian tangan dari sudut jendela mobil mewah yang mulai melaju, lalu memberikan korannya sembari masih setengah berlari. Licinnya aspal bulan November mengganggu lajunya, lalu ia pun terjatuh. Tuhan... mengapa ibukota seolah tak acuh. Seolah biasa saja, seolah tak terjadi apa pun. Tetap sibuk... Dia pun terbangun seolah tanpa rasa sakit, lalu berdiri di trotoar pembatas jalan, tersenyum, menunnggu lampu merah datang lagi. Aku terpesona...
Mobil di belakangku membunyikan klaksonnya. Aku sudah tertinggal beberapa meter dari kendaraan di depanku. Aku melaju lagi...
Aku berhenti di gerbang sebuah sekolah di ujung perempatan, tempat murid-muridku menuntut ilmu. Disana berhenti mobil mewah tadi. Lalu turun seorang anak kecil. Berseragam lengkap, bersepatu mahal. Tak heran, sekolah ini sekolah elit, yang perbulannya bisa menghabiskan jutaan rupiah, yang anak-anaknya dimanjakan dengan harta, yang tangan dan kakinya digantikan oleh pembantu, yang bahkan masih gigi susu saja dipasang kawat gigi, yang bekal setiap harinya makanan mahal, yang tas dan sepatunya bermerek. Bahkan mungkin dia tak pernah mambayangkan 'uang datang dari mana'.
Setiap hari kulihat senyum mereka, lalu aku ingin menangis melihat senyum anak penjual koran tadi pagi. Murid-muridku tersenyum untuk dunianya yang serba ada, tapi anak itu tersenyum untuk 2000 rupiah dari ayah-ayah dari anak-anak yang serba ada....
Pagi ini
November 22nd, 2011
:: Berapa bintang yang kau beri? ::.
4 percakapan:
Betapa kontrasnya pemandangan di republik ini ya sob...banyak mobil dan rumah mewah, di lain sisi masih begitu banyak pula orang-orang yang kekurangan...
BalasHapusSemoga kita bisa mensyukuri nikmat yang ada dalam diri kita dan bisa berbagi dengan yang kekurangan
Ya seperti itulah kondisi nyata dunia ini.. tak hanya negeri ini, tapi juga negeri manapun di dunia. tak hanya di masa ini, tapi negeri kapanpun yang pernah ada.
BalasHapusMeski sebuah negeri dianggap telah makmur, tak bisa dipungkiri bahwa ada sekelumit orang yang seperti "bocah penjual koran", itulah paradoks sebuah kota..
Ayo, siapa yang bisa membantu mengurangi permasalahan ini? angkat tangan kalian, jangan hanya pendapat kalian yang tersebar di berbagai media.. (no mention)
kejaman kehidupan ini, tapi begitulah hidup, sepahit apapun harus kita jalani,, :(
BalasHapusyaaahhh coba ada keajaiban dimana bisa merubah semuanya :) aduhh prihatin
BalasHapus