6
Cemburu
Posted by Black Sakura
in
petuah
Kata orang dulu "urip iku sawang sinawang", apa yang kita lihat mungkin tidak seperti yang orang rasakan. Kita pikir orang lain lebih beruntung, tapi mungkin orang tersebut pun berpikir kalau kitalah yang lebih beruntung. Kata orang lagi, "rumput tetangga selalu nampak lebih hijau", padahal mungkin hanya karena kita tidak pernah menikmati kebun kita sendiri. Tapi kenyataannya, begitulah manusia.
Saya akui, saya pun tak lepas dari perasaan picik seperti itu. Seringnya kebahagiaan orang lain menyisakan sedikit perih di sudut hati kita, dan kadang juga sebaliknya. Walaupun saya berusaha menepis, namun hati tetap merasakannya juga. Banyak orang di sekitar saya mencemburui hidup saya. Kata mereka saya pintar, saya berbakat, saya cantik dan sebagainya.Tapi saya sering mengeluhkan apa apa yang tidak saya miliki, saya merasa yang saya miliki sekarang adalah hal sewajarnya yang tidak perlu saya besar-besarkan. Hati saya penuh dengan rasa cemburu. Saya cemburu pada teman-teman SD saya yang dijemput orang tuanya ketika hujan, saya cemburu pada mereka yang diberi hadiah ketika ranking 1, saya cemburu pada mereka yang punya sepatu sepatu bagus, saya cemburu pada mereka yang rumahnya indah dan besar. Padahal suatu ketika, ada salah satu teman saya berkata kepada saya, "Kamu sih enak, kalo ulangan nilainya bagus terus, lha aku, ga bisa walaupun udah belajar." Mendengar itu, ada sedikit kebanggaan bagi saya karena ada yang cemburu atas diri saya. Saya rasa saya bukan orang yang kufur nikmat. Semakin dewasa saya dapat mengurangi rasa cemburu saya terhadap kehidupan orang lain. Bagaimana tidak, pendidikan saya lancar, perekonomian untuk saya cukup, pertemanan saya beres, percintaan saya mulus, prestasi saya cukup bagus, saya tak punya alasan untuk tidak bersyukur. Sampai pada suatu ketika, saya merasa ditinggalkan, tak punya kebanggaan, rasa cemburuku pun mulai tumbuh kembali. Saya belajar bersama teman-teman karib saya yang saya sebut keluarga kedua. Mereka orang orang yang pandai, aktif, kompetitif dan berprestasi. Kami mempelajari dunia bersama, terkadang kami saling mendahului, namun karena kami masih dalam satu sungai, sehingga kami bisa saling mengejar. Kami saling menolong, tapi kami saling mengadu prestasi. Keluargaku ini orang-orang hebat, orang orang yang bunya ekstra pikiran dan tenaga untuk memikirkan hal hal yang hebat, mereka adalah orang-orang yang berani bermimpi dan sepertinya alam semesta mendukungnya. Sedangkan saya, saya berhenti di suatu titik, dimana saya sulit mengejar mereka. Saya dihantui relita, saya tidak bisa seperti mereka karena saya memutuskan untuk singgah di sebuah delta. Rasanya sakit melihat mereka terbang tinggi meninggalkan saya. Mereka mengukir mimpi-mimpi indah, memikirkan program program hebat, merencanakan perjalanan-perjalanan yang fantastis. Rasanya saya lumpuh tak berdaya. Seharusnya saya bahagia untuk mereka, iya saya bahagia, tapi dibalik itu, saya merasa tertinggal dan terbelenggu, yang mungkin karena pikiran saya saja yang membuatnya begitu. "Urip iku sawang sinawang Wi," kata teman saya ketika saya menangis didepannya karena merasa ditinggalkan."Setiap orang seharusnya tidak mengukur kebahagiaanya atas pencapaian orang lain. Karena kebahagiaan dan kepuasan itu kita ciptakan sendiri. Kamu tak tahu kan, apakah orang yang kamu kira lebih bahagia dari pada kamu sebenarnya lebih bahagia? Mungkin dia cemburu padamu yang berani memutuskan jalan kebahagiaanmu." Mungkin kata dia benar, kebahagiaan itu diciptakan, bukan dicari. Semoga menginspirasi Black Sakura
:: Berapa bintang yang kau beri? ::.
Saya akui, saya pun tak lepas dari perasaan picik seperti itu. Seringnya kebahagiaan orang lain menyisakan sedikit perih di sudut hati kita, dan kadang juga sebaliknya. Walaupun saya berusaha menepis, namun hati tetap merasakannya juga. Banyak orang di sekitar saya mencemburui hidup saya. Kata mereka saya pintar, saya berbakat, saya cantik dan sebagainya.Tapi saya sering mengeluhkan apa apa yang tidak saya miliki, saya merasa yang saya miliki sekarang adalah hal sewajarnya yang tidak perlu saya besar-besarkan. Hati saya penuh dengan rasa cemburu. Saya cemburu pada teman-teman SD saya yang dijemput orang tuanya ketika hujan, saya cemburu pada mereka yang diberi hadiah ketika ranking 1, saya cemburu pada mereka yang punya sepatu sepatu bagus, saya cemburu pada mereka yang rumahnya indah dan besar. Padahal suatu ketika, ada salah satu teman saya berkata kepada saya, "Kamu sih enak, kalo ulangan nilainya bagus terus, lha aku, ga bisa walaupun udah belajar." Mendengar itu, ada sedikit kebanggaan bagi saya karena ada yang cemburu atas diri saya. Saya rasa saya bukan orang yang kufur nikmat. Semakin dewasa saya dapat mengurangi rasa cemburu saya terhadap kehidupan orang lain. Bagaimana tidak, pendidikan saya lancar, perekonomian untuk saya cukup, pertemanan saya beres, percintaan saya mulus, prestasi saya cukup bagus, saya tak punya alasan untuk tidak bersyukur. Sampai pada suatu ketika, saya merasa ditinggalkan, tak punya kebanggaan, rasa cemburuku pun mulai tumbuh kembali. Saya belajar bersama teman-teman karib saya yang saya sebut keluarga kedua. Mereka orang orang yang pandai, aktif, kompetitif dan berprestasi. Kami mempelajari dunia bersama, terkadang kami saling mendahului, namun karena kami masih dalam satu sungai, sehingga kami bisa saling mengejar. Kami saling menolong, tapi kami saling mengadu prestasi. Keluargaku ini orang-orang hebat, orang orang yang bunya ekstra pikiran dan tenaga untuk memikirkan hal hal yang hebat, mereka adalah orang-orang yang berani bermimpi dan sepertinya alam semesta mendukungnya. Sedangkan saya, saya berhenti di suatu titik, dimana saya sulit mengejar mereka. Saya dihantui relita, saya tidak bisa seperti mereka karena saya memutuskan untuk singgah di sebuah delta. Rasanya sakit melihat mereka terbang tinggi meninggalkan saya. Mereka mengukir mimpi-mimpi indah, memikirkan program program hebat, merencanakan perjalanan-perjalanan yang fantastis. Rasanya saya lumpuh tak berdaya. Seharusnya saya bahagia untuk mereka, iya saya bahagia, tapi dibalik itu, saya merasa tertinggal dan terbelenggu, yang mungkin karena pikiran saya saja yang membuatnya begitu. "Urip iku sawang sinawang Wi," kata teman saya ketika saya menangis didepannya karena merasa ditinggalkan."Setiap orang seharusnya tidak mengukur kebahagiaanya atas pencapaian orang lain. Karena kebahagiaan dan kepuasan itu kita ciptakan sendiri. Kamu tak tahu kan, apakah orang yang kamu kira lebih bahagia dari pada kamu sebenarnya lebih bahagia? Mungkin dia cemburu padamu yang berani memutuskan jalan kebahagiaanmu." Mungkin kata dia benar, kebahagiaan itu diciptakan, bukan dicari. Semoga menginspirasi Black Sakura
:: Berapa bintang yang kau beri? ::.
6 percakapan:
super sekali.,,,:)
BalasHapusterima kasih, semoga perenungan kecil ini sempat singgah di pikiran kita..
HapusHidup itu sawang sinawang, Wi...
BalasHapusSaya suka sekali dengan kalimat SEMESTA MENDUKUNG..
ahaha... mengalir begitu saja :)
Hapusmas biar kamu ga usah edit2 paragrafnya gitu piye cara aku nulisnya?
Dicoba-coba aja ngedit pas bikin postingan.. Ntar kan bisa sendiri, aku yakin..
HapusYah intinya jadilah diri sendiri, berbahagialah pada keadaan kita sekarang, karena belum tentu orang lain bahagia seperti kita sekarang.
BalasHapus