1
Seandainya Saya Menjadi Anggota DPD-RI: Harus Terkenal
Posted by Pambayun Kendi
in
opini
Beberapa bulan lalu saya menyaksikan Irman Gusman, ketua DPD-RI, menjadi analis di suatu sesi pertandingan BPL, di salah satu televisi swasta. Baru-baru ini beliau muncul lagi mengucapkan selamat natal dan tahun baru.
Kalau bukan melalui dua kondisi tersebut, mungkin hanya sebagian kecil saja masyarakat yang ‘aware’ dengan eksistensi DPD-RI, itupun terbatas hanya pada ketuanya saja. Padahal, para anggota lembaga tinggi negara ini dipilih sendiri oleh rakyat, mewakili daerahnya (bukan partai politik), saban Pemilu. Bisa jadi karena exposure-nya kurang. Harus diakui kalau perhatian para kuli tinta lebih condong kepada DPR-RI yang sarat dengan dinamika hitam-putih. Tapi biarlah, tidak diberitakan berarti (bisa jadi) BERSIH. BERSIH dari kasus dan peyelewengan, bukannya BERSIH dari tugas dan pengabdian.
Menjadi sebuah tantangan tersendiri ketika belakangan muncul pertanyaan dengan tema: ‘seandainya saya menjadi anggota DPD-RI’. Pertanyaan yang gampang-susah. Gampang (dengan mengusung sikap positif) karena fungsi, tugas, dan wewenangnya sudah diatur sedemikian rupa berdasarkan undang-undang. Susah karena tidak semua individu memenuhi kapasitas dan kualitas untuk menjalankan amanat rakyat tersebut. Jadi, boleh saya tekankan, individu-individu yang memegang amanat sebagai anggota DPD-RI merupakan individu-individu unggul yang terseleksi dan terpilih, yang semestinya sadar betul dengan resiko dan tanggung jawabnya sebagai anggota DPD-RI. Sebuah dasar yang ideal.
Menjalankan tugas dengan baik? Pasti. Namun, sebetulnya ada poin penting yang menjadi sorotan (saya jika menjadi anggota DPD-RI) ketimbang hanya mengembangkan ‘list to do’; yakni membangkitkan harapan. ‘Dimana tak ada pengharapan akan masa depan, tak ada kuasa di masa sekarang’ kata John C. Maxwell. Lihatlah, betapa harapan rakyat di Indonesia saat ini sudah berada pada kondisi memprihatinkan; pesimistis, dan bahkan mendekati apatis. Mau siapa juga yang berada di pemerintahan atau di Senayan, mereka sudah tidak mau ambil pusing. Taraf hidup mereka tidak berubah. Pemberitaan yang sering muncul di media massa dominan mengandung unsur serba-serbi negatif: makin menghancurkan pilar-pilar harapan yang tersisa. Jika harapan saja sudah tidak ada, lalu apa? Bukankah orang sakit bisa sembuh karena ia berharap untuk sembuh?
Harapan bisa dimunculkan kembali dengan menjaring kepercayaan, sedangkan kepercayaan dapat dimunculkan dengan membangun kedekatan. Logikanya, orang akan cenderung menaruh harapan kepada mereka yang dikenal atau mudah dikenali ketimbang dengan orang asing, meskipun orang asing tersebut memiliki serangkaian keuntungan yang ditawarkannya. Perlu dimaknai, bahwa membangun kedekatan tidak hanya dilakukan pada saat kampanye saja, melainkan secara terus-menerus selama masa jabatan. Ada banyak cara yang bisa dilakukan, jika memang ada kemauan. Adakan kunjungan ke daerah, public hearing, inspeksi mendadak, dsb. Atau, supaya hemat, dengan memanfaatkan teknologi tele-conference secara berkala. Dengan pola-pola interaksi yang demikian diharapkan tidak hanya mendekatkan antara rakyat dan wakilnya, tapi juga merupakan suatu media penampung aspirasi yang berbobot guna mematangkan RUU, sekaligus menjalankan fungsi pengawasan.
Libatkan pers. Bikin prestasi dengan pengajuan RUU yang nyata berpihak kepada kemakmuran rakyat. Lakukan fungsi pengawasan dengan kritis dan bebas dari ‘kepentingan’. Ketika korupsi dan politik kepentingan sudah menjadi hal lumrah, jadilah berbeda dengan mengatakan TIDAK. Bukankah menjadi berbeda merupakan ciri-ciri tingginya kreativitas? Bukankah orang kreatif lebih disenangi orang banyak?
Terakhir tapi penting, terapkan 3S: Senyum, Sapa, dan Salam ketika berinteraksi dengan rakyat. Alhamdulillah ya, cukup sederhana untuk menjadi anggota DPD-RI.
Oleh: Pambayun Kendi P.
:: Berapa bintang yang kau beri? ::.
Kalau bukan melalui dua kondisi tersebut, mungkin hanya sebagian kecil saja masyarakat yang ‘aware’ dengan eksistensi DPD-RI, itupun terbatas hanya pada ketuanya saja. Padahal, para anggota lembaga tinggi negara ini dipilih sendiri oleh rakyat, mewakili daerahnya (bukan partai politik), saban Pemilu. Bisa jadi karena exposure-nya kurang. Harus diakui kalau perhatian para kuli tinta lebih condong kepada DPR-RI yang sarat dengan dinamika hitam-putih. Tapi biarlah, tidak diberitakan berarti (bisa jadi) BERSIH. BERSIH dari kasus dan peyelewengan, bukannya BERSIH dari tugas dan pengabdian.
Menjadi sebuah tantangan tersendiri ketika belakangan muncul pertanyaan dengan tema: ‘seandainya saya menjadi anggota DPD-RI’. Pertanyaan yang gampang-susah. Gampang (dengan mengusung sikap positif) karena fungsi, tugas, dan wewenangnya sudah diatur sedemikian rupa berdasarkan undang-undang. Susah karena tidak semua individu memenuhi kapasitas dan kualitas untuk menjalankan amanat rakyat tersebut. Jadi, boleh saya tekankan, individu-individu yang memegang amanat sebagai anggota DPD-RI merupakan individu-individu unggul yang terseleksi dan terpilih, yang semestinya sadar betul dengan resiko dan tanggung jawabnya sebagai anggota DPD-RI. Sebuah dasar yang ideal.
Menjalankan tugas dengan baik? Pasti. Namun, sebetulnya ada poin penting yang menjadi sorotan (saya jika menjadi anggota DPD-RI) ketimbang hanya mengembangkan ‘list to do’; yakni membangkitkan harapan. ‘Dimana tak ada pengharapan akan masa depan, tak ada kuasa di masa sekarang’ kata John C. Maxwell. Lihatlah, betapa harapan rakyat di Indonesia saat ini sudah berada pada kondisi memprihatinkan; pesimistis, dan bahkan mendekati apatis. Mau siapa juga yang berada di pemerintahan atau di Senayan, mereka sudah tidak mau ambil pusing. Taraf hidup mereka tidak berubah. Pemberitaan yang sering muncul di media massa dominan mengandung unsur serba-serbi negatif: makin menghancurkan pilar-pilar harapan yang tersisa. Jika harapan saja sudah tidak ada, lalu apa? Bukankah orang sakit bisa sembuh karena ia berharap untuk sembuh?
Harapan bisa dimunculkan kembali dengan menjaring kepercayaan, sedangkan kepercayaan dapat dimunculkan dengan membangun kedekatan. Logikanya, orang akan cenderung menaruh harapan kepada mereka yang dikenal atau mudah dikenali ketimbang dengan orang asing, meskipun orang asing tersebut memiliki serangkaian keuntungan yang ditawarkannya. Perlu dimaknai, bahwa membangun kedekatan tidak hanya dilakukan pada saat kampanye saja, melainkan secara terus-menerus selama masa jabatan. Ada banyak cara yang bisa dilakukan, jika memang ada kemauan. Adakan kunjungan ke daerah, public hearing, inspeksi mendadak, dsb. Atau, supaya hemat, dengan memanfaatkan teknologi tele-conference secara berkala. Dengan pola-pola interaksi yang demikian diharapkan tidak hanya mendekatkan antara rakyat dan wakilnya, tapi juga merupakan suatu media penampung aspirasi yang berbobot guna mematangkan RUU, sekaligus menjalankan fungsi pengawasan.
Libatkan pers. Bikin prestasi dengan pengajuan RUU yang nyata berpihak kepada kemakmuran rakyat. Lakukan fungsi pengawasan dengan kritis dan bebas dari ‘kepentingan’. Ketika korupsi dan politik kepentingan sudah menjadi hal lumrah, jadilah berbeda dengan mengatakan TIDAK. Bukankah menjadi berbeda merupakan ciri-ciri tingginya kreativitas? Bukankah orang kreatif lebih disenangi orang banyak?
Terakhir tapi penting, terapkan 3S: Senyum, Sapa, dan Salam ketika berinteraksi dengan rakyat. Alhamdulillah ya, cukup sederhana untuk menjadi anggota DPD-RI.
Oleh: Pambayun Kendi P.
:: Berapa bintang yang kau beri? ::.
1 percakapan:
I have read so many articles or гevіews
BalasHapusconсerning the blogger loνeгs howеver this piece of writing is actuаllу a
fastidіous рaragraph, keер it up.
Also visit my blog - samsung galaxy s3