0

EmonAlisa

Posted by Black Sakura in

Awalnya mungkin kita tidak pernah menyadari betapa banyak kekurangan kita sebelum seseorang atau mungkin banyak orang mengingatkan kita betapa kita banyak memiliki kekurangan. Hal itu pula yang dialami oleh Emon. Pada awalnya dia sangatlah percaya diri akan apapun yang dimilikinya. Bukannya saya ingin bilang kalau percaya diri buruk sih, saya cuma ingin menyampaikan bahwa kepercayaan diri pun harus diimbangi dengan kesadaran akan kenyataan hidup. Kenyataan bahwa anda memang bokek, misalnya. Atau kenyataan bahwa anda tidak cukup ganteng untuk melamar menjadi foto model. Terkadang orang yang terlampau percaya diri membawanya pada ‘kebutaan’ akan ketidaksempurnaan diri begitu pula sebaliknya, terlalu rendah diri pun akan menimbulkan ‘kebutaan’ akan kemampuan diri sehingga kita pun lupa untuk bersyukur. Di mana-mana memang keseimbanganlah yang paling baik.
Bermodalkan kepercayaan diri, Emon memberanikan diri untuk mendekati gadis-gadis yang ia sukai. Mulai dari Delia, primadona di sekolahnya sampai Rina, anak ibu kantin. Ini dia kisah si Emon dengan Delia.
Emon   : Del, kamu emang cewek paling cakep di sekolah ini.
Delia    : Ya ampun Mon, semua orang juga tau kale.
Emon   : Aku seneng banget deh bisa deket sama kamu.
Delia    : Siapaaaaaaa juga yang nggak seneng, deket sama aku Mon. (kipas kipas sombong)
Emon   : Sebenernya ada yang ingin aku omongin ni Del. (meremas tangannya sendiri)
Delia    : Panas banget nih disini, yuk ke kafe yang di deket taman kota ajah.
Emon   : Emmmm, kafe Del?
Delia    : Iya. Aku pengen nyobain mocachinonya.
Emon   : Ke kantin aja yuk Del. Jus alpukatnya enak loh.
Delia    : Huft, sebenernya aku bosen banget sama menu-menu di kantin. Ya berhubung aku udah haus banget, nggak pa pa deh. Tapi lain kali ke kafe itu ya Mon.
Emon semakin merapatkan tautan tangannya. Emon pun memilih bangku di pojokan di kantin yang mulai sepi itu demi menciptakan latar dan setting yang agak romantis mirip mirip di kafe kafe walaupun agak bau.
Emon   : “Del…”
Delia    : “Hmmm …”(sambil menyeruput jusnya)
Emon   : “Nglanjutin yang tadi nih Del…”
Delia    : “Kenapa Mon?”
Emon   : “Aku ngerasa cocok banget sama kamu Del.Kamu mau nggak jadi pacarku?”
Delia    : Crrroooootttt! (nyemprotin jus dari mulutnya) “Whattt? Apa Mon? Ya ampun Mon, bercanda ya?”
Emon   : “Emang kenapa Del?” (garuk garuk kepala)
Delia    : “Nggak mungkin lah Mon kita pacaran. Secara nih ya, mantan mantan aku itu orang orang kece. Mulai dari ketua basket, ketua osis, model, yang terakhir aja guru olah raga.  Aduh Mon, maaf nih ya. Kamu kyut kok, tapi kamu bukan selera aku. Rambutmu, aduuuhhhh jadul. Postur tubuhmu, aduuuuuh kurang gagah, dan apa lagi ya? Pokoknya nggak deh.”
……….waktu berasa berhenti sejenak …………
Jari jari Emon yang sedari tadi bertaut erat pun memudar lunglai bak kehilangan tulangnya. Dia pun menyadari satu hal bahwa dia kurang kece untuk jadi pacar cewek kece di sekolah.
Rina adalah cewek yang ditembak Emon dengan titik darah penghabisan. Itu pun sudah berbulan-bulan yang lalu. Tak jauh berbeda. Emon pun mendapatkan pelajaran lain. Begini ceritanya….
Emon   : “Rin, tambah manis aja sih kamu.”
Rina     : “Ah, sukanya ngegombal nih Emon.”
Emon   : “Nggak kok, suwer deh. Semakin lama kupandang, semakin manis aja.”
Rina     : (senyum senyum simpul)
Emon   : “Kok aku ngerasanya kita tambah deket aja ya Rin. Kamu ngerasa gitu nggak?”
Rina     : “Emmm gimana ya? Iya sih kamu lebih sering dateng ke kantin ibu aku.”
Emon   : “Aku jatuh cinta Rin, sama kamu. Mau nggak jadi pacarku?”
Rina     : “ENAAK AJAH KAMU NEMBAK AKU! BAYAR DULU UTANG UTANG KAMU SAMA IBU AKU, DASAR BOKEK!”
Bak badai api keluar dari mulut naga, Emon pun gosong terpanggang lalu rontok karenanya. Bermandikan kata kata Rina, Emon pun untuk kesekian kalinya tersadar akan kekurangannya dahwa dia terlalu bokek bahkan untuk mengencani anak ibu kantin.
Delia dan Rina hanyalah appetizer dan desert nya aja. Untuk maincourse nya silakan anda bayangkan sendiri betapa variatifnya penolakan yang dialami oleh si Emon sehingga satu per satu kekurangan Emon ditelanjangi dengan sangat dramatis. Betapa tidak, Emon sekarang menjadi amat depresi dan tidak percaya diri. Dia merasa dunia ini tercipta bukan untuknya. Alam semesta menolaknya. Tak mengenal warna, hanya kelabu adanya (kasian amat si Emon ini).Dia merasa seperti kata seorang komik di TV bahwa yang mau menerima dia apa adanya hanya dua orang; ibunya dan panti asuhan.
Dalam keputusasannya, dia tetap berusaha menjalani hidupnya, berharap ada setitik sinar yang bisa sedikit melelehkan hatinya yang telah beku, walaupun malam seperti tak kunjung berganti fajar. Suram benar nasib si Emon ini. Saking depresinya, Emon jadi sering berimajinasi. Imaginasinya pun semakin menjerumuskannya dalam kehampaan.
Suatu pagi di hari Minggu…..
Emon   : “Mendung ya Mak?”
Emak   : “Mendung apaan Mon? Jemuran pada kering kayak rempeyek gini.”
Emon   : “Masa sih Mak?” (manatap jalanan kosong dengan nanar)
Emak   : “Dari pada ngelamun, sono ke dapur nungguin ikan yang mau dimasak biar nggak digondol kucing!”
Emon pun berjalan ala zombie ke dapur lalu duduk sekenanya di tengah pintu dapur. Seekor kucing nongol mengendus endus kaki Emon dengan muka melas.
Kucing            : “Meoooong” (laper Oom)
Emon   : “Kamu lagi putus cinta ya Pus? Muka kamu sama melasnya sama aku.”
Kucing : “Meoooooooonggggggg, meoooongggggg” (saya laper Oom, istri saya mah banyak Oom, nggak bakal putus cinta)
Emon   : “Sakit ya Pus rasanya, nggak ada yang mau menerima kita apa adanya. Emon kan juga manusia.”
Kucing            : “Meongggggggggg, meonggggggggggggg” (Apah? Ki-ta? Lo ajah kalee. Situ gila ya Oom, mana ada manusia ngomong sama kucing)
Emon   : “Makasih ya Pus, kamu simpatik banget sama aku.”
Kucing            : “Rrrrrrrrrrr…wrrrrrraaaaooooooo………..!!!!!” (SAYA LAPER LOH OM, SAYA GIGIT LOH OM!)
Emon   : “Santai aja Pus, nggak usah emosi gitu. Emon aja tetep kalem ni.”
Kucing            : “Wrrrrrrraaaaoooooooooo!” (Rasain ni aku gigit)
Emon   : “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaakkkkkkk! Sialan ni kucing, aku kira kamu simpatik sama aku. Ternyata, kamu juga ikut-ikutan membuatku lebih terpuruk. Hush hush… Pergi kamu!”
Kucing: “Meong!” (chao Oom gila, xixixi!)
Berbulan-bulan Emon tak berani menatap bayangannya sendiri di cermin. Dia menjadi paranoid karena setiap detil yang dia lihat di cermin adalah sebuah kesalahan. Rambutnya salah, hidungnya salah, bibirnya salah, giginya salah, bahkan bulu hidungnya nampak liar bagaikan bulu ketek. Terus harusnya bagaimana? Emon juga bingung sendiri. Apa lagi saya?
Bayangan gadis-gadis yang menolaknya mulai berputar di kepalanya bagaikan slide-show pelajaran kimia yang diulang-ulang, yang selalu bikin dia pusing. Kata-kata penolakan mereka juga merobek-robek perih hatinya bak keju diparut-parut dan ayam disuwir-suwir. Kata orang, mati segan hidup tak mau. Itulah yang dirasakan Emon. Pengen bunuh diri loncat dari apartemen, Emon nggak punya apartemen. Pengen gantung diri, talinya udah dipake jemuran sama si Emak. Pengen minum obat nyamuk, Emon cuma punya obat nyamuk bakar, dan pikir Emon kayaknya nggak enak kalo harus ngunyah-ngunyah spiral ijo semacam itu, apa lagi yang ungu rasa lavender. Akhirnya, Emon urungkan niatnya untuk bunuh diri dan memilih untuk bertahan hidup saja dengan sisa-sisa kepercayaan diri yang ada.
Tuhan memang selalu adil pada umat-Nya. Apalagi yang mau bertahan dalam cobaan-Nya, macam Emon. Emon pun merasa mendapatkan seberkas harapan untuk melanjutkan hidupnya ketika dia mulai tertarik lagi pada seorang gadis. Walaupun kenangan masalalunya bak tali tali yang membelenggunya untuk terus maju, pesona gadis ini lebih kuat rupanya.
Suatu pagi di hari pertama sekolah pada tahun ajaran baru, kibasan rambut seorang gadis merontokkan hati si Emon. Rambutya yang hitam panjang berkilau berkibar disibak angin bak iklan sampo dengan jargon “ah nggak kok, cuma pake sampoooo.”
Angin pagi yang biasa aja serasa musim semi di Jepang. Dunia serasa di pause sejenak dan hanya rambut sang gadis yang di play. Jantung Emong berdegup semakin kencang. Terjadilah konflik di batin Emon. Emon masih setengah tidak percaya bahwa dia mulai jatuh cinta lagi. Di sisi lain, kepercayaan dirinya belum sepenuhnya kembali. Namun gejolak kekaguman Emon kepada sang gadis memang tak mampu dia tolak.
Emon pun tak mampu menghilangkan wajah sang gadis itu dari pelupuk matanya selama berhari-hari. Bagaikan magnet, Emon sangat ingin mendekatinya, bahkan hanya untuk sekedar melihat sehelai rambutnya. Sedikit demi sedikit Emon memberanikan diri untuk mendekati sang gadis. Emon mulai dengan mengajaknya berkenalan. Kali ini Emon tidak berani SNSD eh SKSD maksudnya. Dia mendekat dan bertanya dengan sopan, seperti layaknya orang kenalan. Itu pun Emon sudah dengan susah payah menahan-nahan hastratnya untuk melihat setiap mili dari gadis yang ada di depannya ini. Takut dikira kurang ajar, ditampar, lalu ditolak lagi mentah mentah. Kiamat sudah kalau begitu.
Ternyata Alisa adalah gadis yang sangat kalem dan baik. Setiap langkah Emon untuk mendekatinya diresponnya dengan ramah. Senyumnya selalu menghiasi wajahnya saat mengobrol dengan Emon. Emon senang bukan kepalang bagaikan dibukakan jendela setelah bertahun-tahun disekap di ruang bawah tanah. Alisa tak pernah mengomentari rambutnya, menayakan seberapa tebal kantongnya atau menagih utangnya. Emon merasa bahwa Alisa adalah gadis yang paling tulus berteman dengannya. Lama kelamaan Emon mulai berani berharap bahwa Alisa adalah orang ketiga yang mau menerima dia apa adanya.
Alisa juga nampakya anak pemalu. Dia terlihat jarang berkumpul dengan teman teman di kelasnya, jadi Emon punya banyak waktu untuk dihabiskan bersamanya. Semakin hari Emon semakin dekat dengan Alisa. Mereka mulai terbiasa membicarakan banyak hal. Mulai dari pelajaran sekolah sampai curhat-curhatan.
Setelah beberapa lama berteman, mereka saling merasa nyaman untuk lebih terbuka dalam mengungkapkan apa yang mereka rasakan. Emon seperti mendapat sambutan yang hangat di hati Alisa. Emon semakin terpesona dengan pribadi Alisa yang ramah dan tidak melihat kekurangan orang lain. Emon pun memberanikan diri, setelah sekian lama memendam perasaannya, untuk mengungkapkan isi hatinya.
Ditengah keinginannya yang menggebu-gebu, sering terbersit di benak Emon akan berbagai kemungkinan buruk yang mungkin terjadi. Maklumlah, trauma mendalam pasti susah disembuhkan. Emon sering parno  sendiri. Namun, sedikit semi sedikit, kehangatan sikap Alisa mampu mengikis selapis demi selapis kenangan buruk Emon ditolak gadis-gadis. Ketulusan Alisa membuat Emon merasa diperlakukan selayaknya manusia tanpa ditambahi embel-embel nggak kece.Alisa mampu membuat Emon ingin menyayanginya sepenuh hati dan merasa disayayangi sepenuh hati. Dengan berhati-hati, Emon pun ingin memastikan apakah Alisa akan tulus menerima dia apa adanya sebelum Emon mengucapkan “Will you be my girlfriend?”
Walau sedikit ragu, Emon memantabkan langkahnya untuk mengungkapkan isi hatinya kepada Alisa. Maaf Saudara, kali ini adegannya serius.
Emon   : “Walau sedikit klise, tapi memang benar bahwa kamu satu satunya teman yang melihatku tanpa mengolok olok kekuranganku, Lis.”(menatap Alisa penuh arti)
Alisa    : “Semua orang punya kekurangan Mon, aku nggak mau mengolok-olok kekurangan orang lain, sedangkan aku mungkin punya kekurangan yang akan terasa lebih menyakitkan ketika dijadikan bahan olok-olok.”
Emon   : “Andai semua orang berfikir seperti kamu, Lis. Mungkin aku tidak akan mengalami krisis kepercayaan diri. Betapa aku beruntung mengenalmu. Kamu sudah mengembalikan kepercayaandiriku.”
Alisa    : “Ah, Emon. Aku senang ada orang yang mempercayaiku untuk menceritakan isi hatinya. Kamu teman terbaikku, Mon.”
Emon   : “Untuk itu Lis, aku ingin mengakui sesuatu. Dan aku sudah bersiap diri atas apapun yang akan kamu katakan.”
Alisa    : “Pengakuan apa, Mon?”
Jari-jari Emon mulai saling bertautan. Mulutnya serasa mengering dan suranya serasa tertahan di tenggorokan. Dengan sedikit dorongan emosional, akhirnya Emon mampu berbicara.
Emon   : “Aku…… jatuh cinta sama kamu,Alisa. Aku….. sayang kamu.”
Seketika Alisa menundukkan wajahnya. Pipinya memerah dan wajahnya berubah menjadi risau.
Emon   : “Maaf Alisa, bukannya aku ingin mengacaukan persahabatan kita. Namun inilah yang aku rasakan. Katakan saja apa yang ingin kamu katakan.”
Perlahan-lahan Alisa tersenyum. Ia menatap Emon seperti sedang menegarkan diri.
Alisa    : “Maaf Mon, sebelumnya, boleh aku tanya beberapa hal sama kamu?”
Emon semakin gusar. Sedikit heran namun merasa seperti memiliki harapan.
Emon   : “Apa aja, Lis.”
Alisa nampak sedikit gugup dan khawatir.
Alisa    : “Tak harus kamu yang selalu mempertanyakan apakah seseorang bisa menerimamu apa adanya, Mon. Aku pun ingin menanyakan hal yang sama. Apa kamu menyukaiku apa adanya?”
Emon   : “Tentu aja Alisa, apa yang bisa aku tolak dari….” (Emon belum menyelesaikan perkataannya namun Alisa menyambungnya dengan pertanyaan lain.)
Alisa    : “Kalo ternyata aku anggota teroris?”
Emon   : “Aku bantuin kamu bikin bom deh. Hehe….”
Alisa    : “Kalo ternyata aku wanita tuna susila?”
Emon   : “Eh? Aku kawinin kamu dan ajak kamu kembali ke jalan yang benar. Ha ha ha….”
Alisa    : “Ha ha ha…. Kalo rambutku pada rontok, apa kamu masih suka padaku?”
Emon   : “Kan bisa pake wig ato kerudung, kamu masih cantik kok.” (jawab Emon tulus)
Alisa    : “Kalo tiba tiba aku lumpuh dan nggak bisa jalan?”
Emon   : “Aku gendong kamu kemana-mana. Tapi ….. kenapa kamu…”
Alisa    : “Kalo besok aku mati, apa hari ini kamu masih jatuh cinta padaku?”
Emon merasa sedih mendengar pertanyaan Alisa yang terakhir. Anehnya, Emon merasa semakin menyayangi Alisa, bahkan ingin segera memeluknya dan mengatakan bahwa dia tak ingin Alisa mati besuk karena Emon sangat ingin membahagiakannya.
Emon   : “Kenapa kamu bertanya seperti itu, Alisa?”
Alisa    : “Jawab aja, Mon. Bukannya segala kemungkinan bisa terjadi? Aku juga ingin memastikan apakah kamu bersungguh-sungguh.”
Emon   : “Kalo emang ini hari terakhir aku bertemu denganmu, aku ingin nikahin kamu hari ini, Lis.” (Emon mengatakannya dengan mantab.)
Tangis Alisa pun pecah di tengah percakapan mereka. Kedua tangan Alisa meraih tangan Emon yang tautannya mulai mengendur.
Alisa    : (sambil tersedu) … “Maafin aku Mon. Ada hal yang harus kamu tau sebelum kamu memutuskan untuk mencintai aku, Mon.”
Emon terdiam, mambiarkan tangis Alisa meluapkan apa yang dirasakannya. Walaupun Emon masih tak tahu hal seperti apa yang akan diungkapkan oleh Alisa. Emon memlih untuk diam hingga Alisa selesai dengan pengakuannya.
Alisa    : “Aku … aku sakit, Mon. Kanker. Aku sama sepertimu, Mon. bahkah mungkin lebih pedih. Aku ditinggalkan oleh mereka yang dulu bilang mencintaiku, Mon. Cinta mereka tak sanggup menanggung kepedihan yang akan mereka hadapi kelak. Mereka memilih meninggalkanku yang semakin sakit dan terpuruk.”
Emon sadar betul akan apa yang didengarnya. Sangatlah manusiawi jika Emon menimbag-nimbang perasaanya. Namun seberapa keras pun Emon berfikir, selalu ada alasan untuk tetap mencintai Alisa. Walaupun cuma sebentar, Alisa adalah orang yang selama ini membuatnya berarti. Emon tak bisa mengingkari perasaannya bahwa dia tetap mencintai Alisa.
Emon   : “Cuma itu? Kanker nggak akan mengurangi perasaanku padamu, Lis.”
Alisa    : (sembari menyeka air matanya yang tersisa) “Apa kamu serius?”
Emon   : “Iya Alisa, apa pun itu kamu tetaplah Alisa. Jika kamu mau menerima aku apa adanya, kenapa aku nggak bisa? Jadi, will you be my girlfriend?”
Alisa    : “Thank you Mon, I will. Don’t let me down, this time.”
Emon dan Alisa tersenyum.
            Emon merasa bahagia karena cintanya disambut oleh Alisa. Emon belajar dari dirinya sendiri bahwa tak ada yang salah dengan kekurangan yang dimiliki seseorang karena siapapun pasti memilikinya. Semua sama sama manusia, Emon, juga Alisa. Seperti Alisa menerima Emon apa adanya, Emon pun menyayangi Alisa seperti Alisa tak punya kekurangan apapun.
            Setelah dua tahun pacaran, Emon melamar Alisa. Tak lama kemudian mereka pun menikah.Walaupun kesehatan Alisa semakin menurun, Emon tetap menyayangi Alisa. Dengan penuh kasih sayang Emon mendampingi hari hari Alisa hingga Alisa tidak pernah merasa kehilanga cinta Emon.
Sebenarnya hati Emon sungguh nelangsa. Wanita yang dicintainya semakin hari semakin rapuh. Namun Emon tak ingin kesedihannya menghancurkan kebahagiaan yang mereka bangun ditengah cobaan cinta yang mereka hadapi. Buat Emon, Alisa selamanya adalah Alisa, gadis ramah yang baik dan murah senyum. Badannya yang semakin kuyu dan pucat tak mengurangi kecantikan hatinya.
Setahun kemudian Alisa pergi meninggalkan Emon untuk selama-lamanya. Walaupun Emon sudah tahu hal ini akan menimpanya sejak ia memustuskan mencintai Alisa, Emon tidak pernah merasa menyesal untuk mencintai Alisa. Sampai saat itu pun, Emon masih bisa merasakan kehangatan Alisa.
Kehilangan Alisa tidak mengembalikannya pada keterpurukan. Emon kini adalah pria dewasa yang lebih memahami arti kehidupan dan cinta. Dia telah ikhlas Alisa pergi karena dia yakin bahwa Alisa telah memberikan seluruh cintanya kepada Emon. Sampai pada suatu pagi saat Emon bersiap untuk move on, Emon menemukan sebuah buku yang ternyata adalah buku harian milik Alisa berlabel E-monAlisa.
Day 1,
Emon, dulu aku pernah berucap kepada Tuhan bahwa aku rela hidup sehari saja untuk bertemu dengan seseorang yang akan mencintaiku apa adanya. Namun sekarang, aku akan menjadi seorang penderita kanker yang paling bahagia di dunia jika Tuhan ijinkan aku menikmati hidup bersamamu untuk seribu hari. Aku tidak berlebihan kan, Mon? Bukan seribu tahun, hanya seribu hari.
Hati Emon mulai terasa perih dan semakin perih setiap ia membuka lembaran demi lembaran buku harian itu.
Day 401
Tuhan, beri aku lebih banyak waktu dengannya, Please.
Day 736
Emon, aku merasa menjadi wanita sempurna. Sekarang aku istrimu. Semoga Tuhan mengijinkan aku membahagiakanmu lebih lama lagi.
Day 888
Oh Tuhan, tak bisakah Kau ulang lagi dari hari pertama? Aku ingin hari hari ini tak cepat berlalu.
Day 1000
Terimakasih Tuhan, Kau telah mengabulkan doaku. Mon, seribu hari sudah kita lewatkan bersama. Aku benar benar menjadi penderita kanker paling bahagia di dunia. Aku tak pernah menyesali hidupku yang pendek ini karena kamu telah membuatnya sangat indah. Paling tidak, seribu hari ini. Jika Tuhan masih memberiku kehidupan setelah hari ini, maka itu adalah bonus yang tak ternilai untukku.
Berbahagialah Mon, aku sudah sangat bahagia, maka kamu pun harus bahagia, terlebih lagi setelah aku pergi. 1000 days of E-monAlisa
Hari keseribu tersebut merupakan beberapa minggu sebelum kepergian Alisa. Merasa bahagia sekaligus terharu, Emon kembali meneteskan airmatanya yang sudah cukup lama mengering.
-------------------------------------------
            Bagaimana pembaca? Apakah anda kecewa karena endingnya tidak cukup gokil? Sebenarnya, kisah Emon bisa saja berakhir lebih tragis dari ini. Kalo orang berkata, “It couldn’t be worse!”saya bilang “Of course!” karena sebenarnya, beginilah ending cerita ini. Mari kita ulang dari bagian berikut:
Kehilangan Alisa tidak mengembalikannya pada keterpurukan. Emon kini adalah pria dewasa yang lebih memahami arti kehidupan dan cinta. Dia telah ikhlas Alisa pergi karena dia yakin bahwa Alisa telah memberikan seluruh cintanya kepada Emon. Sampai pada suatu pagi saat Emon bersiap untuk move on, Emon menemukan sebuah buku yang ternyata adalah buku harian milik Alisa berlabel E-monAlisa.
Dear Diary,
Tuhan, terima kasih Engkau telah menghadirkan Emon dalam hidupku. Tapi ya Tuhan, mengapa harus Emon, cowok cupu itu? Banyak kota hamba singgahi untuk mencari cinta sejati ya Tuhan, tapi mengapa harus berakhir dengan Emon. Walupun dia baik, tapi dia aneh, Ya Tuhan. Dia nggak kece. Sebenarnya hamba ingin lelaki yang lebih ganteng, Ya Tuhan, lebih keren dan lebih tajir. Agar sisa hidup hamba bahagia.
Tapi apa mau dikata ya Tuhan, tak ada rotan akar pun jadi. Daripada hamba menjomblo sampai mati, mendingan hamba sama Emon deh. Yah, lumayan lah dari pada nggak ada yang mau sama hamba.
Berikan Emon kekuatan untuk menghadapi hidupnya kelak, ya Tuhan. Semoga ada orang yang berbaik hati mau menerima Emon beserta ke-cupu-annya.
Sembunyikan surat ini dari Emon, ya Tuhan. Agar dia tetap mendoakan hamba ketika hamba sudah Engkau panggil. Semoga Emon tidak mencari saya di akherat nanti, agar saya bisa mencari yang lebih kece.
            Kiamat sudah dunia Emon. Emon kembali tersadar bahwa dia harus menerima kenyataan bahwa memang benar hanya dua orang yang mau menerima dia apa adanya, seperti semula, ibunya dan panti asuhan.
----------------------------------------------------------------------
            Baiklah sodara-sodara. Dunia memang penuh pilihan. Jika anda bijaksana, mungkin anda akan memilih ending yang pertama. Namun, jika anda ingin memilih ending yang kedua, lebih baik anda melanjutkan cerita ini agar Emon tidak terlalu menderita. Atau  mungkin judulnya bisa anda ganti menjadi Cintaku Aaaaaakkkkkkkk …. Jlebb!!!



:: Berapa bintang yang kau beri? ::.

0 Comments

Posting Komentar

Copyright © sedetik di bulan All rights reserved. Black Sakura | Faril Lukman | Nurul Rizki | Pambayun Kendi.
Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive